Recent Posts

Senin, 13 Desember 2010

IMAM AL GHOZALI


Imam Al Ghazali, sebuah  nama  yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).



Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

Rabu, 24 November 2010

KETENTUAN-KETENTUAN UDHIYYAH/KURBAN


1-     Udhiyyah / kurban adalah: hewan yang dipotong pada hari raya atau tiga hari tasyriq dengan tujuan taqorrub ( mendekatkan diri ) pada Alloh SWT.
2-     Hukum melaksakanya adalah sunah muakkad bagi orang yang memiliki kekayaan yang cukup untuk membeli hewan kurban lebih dari kebutuhan yang harus dikeluarkan selama hari raya dan tasyriq (empat hari).
3-     Syarat hewan yang cukup untuk kurban adalah kambing, sapi dan kerbau yang sudah berusia dua tahun atau unta sudah umur lima tahun. Dan tidak terdapat cacat yang merusak daging seperti gudik, atau merusak kesempurnaan hewan seperti buta walau hanya sebelah mata. Husus untuk kambing domba yang berumur satu tahun atau sudah powel cukup untuk kurban.
4-     Waktu pelaksanaan kurban: setelah pelaksanaan sholat ‘Ied sampai ahir hari tasyriq
5-     Orang yang melaksanakan kurban harus berniyat seperti: “Saya niyat melaksanakan kurban sunah untuk diri saya sendiri liLlahi ta’ala”.
6-     Pelaksanaan niyat: pada saat menyerahkan hewan kurban atau pada saat pemotongan. Bisa juga pelaksanaan niyat ini diserahkan pada orang yang menyembelih.
7-     Orang yang kurban sunah menyaksikan pemotongan dan berdo’a pada saat pemotongan

إِنَّ صَلَاتِي وَ نُسُكِي وَ مَحْيَايَ وَ مَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ بِذَالِكَ أُمِرْتُ وَ أَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

8-     Pendistribusian daging:
Daging kurban wajib atau kurban sunah yang diatas namakan orang lain seperti anak atau keluarga yang sudah mati harus dibagikan semuanya tidak boleh ada yang disisakan dan harus diberikan pada fakir miskin tidak boleh ada yang diberikan pada orang kaya.
Sedang kurban sunah yang atas nama dirinya boleh disisakan sebagian untuk dirinya dan keluarganya dan sebagian lagi harus dibagikan dalam bentuk mentah
9-     Kurban wajib adalah kurban nadzar atau hewan yang ditentukan oleh pemiliknya untuk dijadikan sebagai hewan kurban ( ta’yin).

TUNTUNAN ZAKAT


Zakat Tijaroh ( Perdagangan )

1.      Yang dimaksud dengan tijaroh adalah perdagangan yaitu jual beli barang dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan .
2.      Zakat perdagangan diwajibkan bila telah genap perputarannya satu tahun (haul) dan pada akhir tahunnya mencapai satu nishob
3.      nishob zakat perdagangan sama seperti emas yaitu 77,5 gram . Sehingga bilamana aset perdagangan nilainya telah mencapai harga emas tersebut wajib dikeluarkan zakatnya.
4.      Besarnya harta yang dikeluarkan dalam zakat perdagangan adalah 2,5 % dari seluruh aset perdagangan (bukan hanya dari keuntungan)
5.      dalam melaksanakan zakat harus disertai niat, seperti : “saya berniat mengeluarkan zakat harta perdagangan saya ”.
6.      waktu untuk melaksanakan niat adalah pada saat menyerahkan zakat atau saat memisahkan uang yang untuk zakat
7.      zakat harus  diberikan dan dibagikan pada kelompok-kelompok mustahiqqin (orang-orang yang berhak) secara merata (sama nominalnya) khususnya yang ada di lingkungannya .
8.      Bilamana tidak mungkin dilakukan pemerataan pada semua kelompok yang ada maka minimal dibagikan pada tiga kelompok secara merata dan dari masing-masing kelompok diambil minimal tiga orang, masing-masing diberi sesuai kadar kebutuhannya (tidak harus sama)
9.      pelaksanaan zakat yang paling baik adalah dengan diantarkan ke rumah-rumah penerima bukan dengan mengundang mereka kerumah muzakki.

Ketentuan-ketentuan lain :

1.      Cara menghitung zakat perdagangan dengan ketentuan harta tersebut telah menjadi milik dalam hitungan satu tahun (haul) adalah :
- Dihitung nilai semua  stok barang dagangan yang ada.
- Dihitung nilai semua barang dagangan yang ada ditangan orang (piutang)
- Dihitung semua uang yang digunakan perputaran baik yang ada direkening ataupun lainnya.
- Dari total jumlah semua itu kemudian dikeluarkan 2,5 % sebagai zakat tijaroh.
- Sedang aset-aset semisal tanah , pabrik, mobil, motor maupun peralatan seperti mesin tenun, mesin jahit dan sebagainya tidak termasuk harta perdagangan yang harus dihitung kecuali apabila ketika membeli sudah direncanakan untuk diperdagangkan.
2.      Aset tanah bagi tuan rumah, yaitu orang yang membeli tanah untuk dijual kembali termasuk harta perdagangan yang harus dihitung sebagaimana mobil bagi pedagang mobil dan sebagainya.
3.      Harta yang menjadi tanggung jawab orang wajib zakat tidak menghalangi keharusan membayar zakat. Sebagaimana harta yang masih dalam tanggung jawab orang lain juga harus dikeluarkan zakatnya.
4.      Uang tabungan yang tidah untuk perdagangan apabila sudah mencapai satu nishob maka juga harus dikeluarkan zakatnya menurut ulama’ yang menyamakan kedudukan uang dengan emas dan perak dalam kontek sekarang.
5.      Adapun uang yang dihasilkan dari profesi seperti konsultan, dokter dan sebagainya bilamana dikeluarkan zakatnya maka masuk kategori zakat mal mustafad yang ketentuannya sebagaimana zakat tijaroh.
6.      Cara mengeluarkan zakat bias dibagikan sendiri kepada  para mustahiq dan diwakilkan pada orang lain seperti panitia atau lembaga yang ditunjuk pemerintah (amil zakat)
7.      Panitia zakat tidak bisa dikategorikan sebagai mustahiq (amil) kecuali apabila melalui SK dari instansi pemerintah yang memiliki kewenangan . status panitia tidak lebih sebagai wakil dari muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) untuk menyalurkan zakatnya pada mustahiq.
8.      Zakat perdagangan harus dikeluarkan dalam bentuk uang tidak boleh dengan barang walaupun darijenios dagangan. Sebagaimana zakat fitrah harus dengan bahan makanan pokok tidak boleh dengan uang kecuali dengan cara membeli beras dari mustahiq (nempur)

Penerima zakat

1.      Kelompok-kelompok yang bias menerima zakat sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an ada delapan kelompok. Akan tetapi dari kedelapan itu yang mudah kita dapatkan di lingkungan kita hanya empat kelompok yaitu: faqir, miskin, ghorim dan sabilillah
2.      Faqir & miskin adalah orang-orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya . bilamana kekurangannya lebih dari 50 % kebutuhan berarti faqir dan bila kekurangannya tidak lebih dari 50 % berarti miskin.
3.      Ghorim adalah orang yang menanggung hutang pada orang lain baik untuk kebutuhan pribadinya ataupun untuk kepentingan orang lain atau kepentingan umum
4.      Sabilillah menurut penafsiran umum yang diikuti mayoritas fuqoha’ adalah orang-orang yang berperang dijalan Allah SWT. Namun demikian ada pula ulama’ yang memberikan penafsiran sabilillah secara luas yaitu sabilul khoir yang berarti orang-orang yang menegakkan agama meskipun bukan dengan jalan berperang seperti halnya para guru-guru agama lembaga pendidikan dan sebagainya.

Selasa, 23 November 2010

BIOGRAFI IMAM SYAFI'I




Namanya adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah. 
Beliau dilahirkan di Gaza tahun 150 Hijriyah pada tahun dimana Imam Abu Hanifah An Nu’man meninggal. Ayahnya meninggal dalam usia muda, sehingga Muhammad bin Idris As-Syafi’I menjadi yatim dalam asuhan ibunya.

Perjalanan Mencari Ilmu

Beliau merupakan anak yatim dan di asuh oleh ibunya yang miskin dan waktu kecil ibundanya tidak mampu untuk membayar uang pengajarannya dalam pelajaran Al Quran. Yang ketika itu kebiasaan anak-anak bangsa arab biasa dititipkan ke Kuntab untuk belajar dan menghapal Al Quran. Tetapi sang guru Muslim bin Khalid Azzanji merasa cukup senang jika Syafi’i kecil dapat mengantikan nya mengajar ketika dia kelelahan. Imam Syafi’i pada umur 7 tahun sudah hafal Alquran.
Pada waktu itu ibunya tidak dapat membelikan beliau kertas tetapi beliau tidak putus asa. Sehingga beliau menulis hadist hadist yang dihapalnya di atas tulang-tulang unta.

Setelah di Mekah beliau sudah menghapal quran dan ratusan hadits serta masalah-masalah yang diperdebatkan oleh ulama-ulama Mekah. Maka belai hendak ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik bin Anas. Sebelum pergi ke madinah Imam Syafi’i kecil menghapal kitab Al Muwathta untuk menarik perhatian Imam Malik bin Anas.

Pada usia 13 tahun beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Mailik Bin Anas. Dikarekan usia yang begitu muda dan begitu banyak hapal hadits dan masalah-masalah maka sampai-sampai Imam Malik bin Anas menyatakan bahwa ” Engkau pantas jadi qadhi atau hakim”. Kemudian pada umur 15 tahun beliau sudah dipersilakan untuk membuat fatwa oleh gurunya.

Kemudian beliau ke Baghdad pada tahun 195 H, yang pada waktu itu diperintah oleh Pemerintahan Ma’mun. Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun kemudian ke Mekkah dan ke Baghdad lagi pada tahun 198 H. Kemudian tinggal di Baghdad beberapa bulan. Setelah itu beliau tinggal di Mesir.

Pada waktu itu Baghdad penuh dengan aliran yang lebih mengedepankan ra’yu dan para aqlaniyun. Dan merupakan salah satu kelebihan Imam Syafi’i dalam muhadhorah yang selalu mengedepankan Qalallahu Qalarrosul, selalu menyatakan dalam debatnya kepada para aqlaniyun: apakah ada dalam Al Quran seperti itu, apakah ada dalam atsar dari Rosulullah SAW dan juga contoh dari para sahabat.



Guru dan Murid-muridnya
Guru-guru Imam Syafi’I diantaranya: Muslim bin Khalid Az Zanji, Imam Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Hatim bin Isma’il.
Murid-muridnya: Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad bin Hambal, Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Jizi.

Karya-karyanya
Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik dalam Ushul maupun Furu’.
Karya-karyanya antara lain: kitab Al Umm, As Sunan Al Ma’tsurah, Ar Risalah, Al Fiqh Al Akbar.

Kecerdasannya
Dihikayatkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid. Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya. Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, ”Imam Asy-Syafi’i meninggal pada malam jum’at
setelah maghrib. Pada waktu itu aku berada disampingnya. Jasadnya di makamkan pada
hari jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan rajab. Ketika kami pulang dari mengiringi
jenazahnya kami melihat hilal bulan sya’ban tahun 204 Hijriyah.

IMAM BUKHORI

B
ukhara merupakan sebuah daerah di belahan Asia Tengah. Daerah ini memang pernah menjadi jajahan negara Rusia dan dimasukkan dalam sebuah persekutuan dengan negara – negara di sekitarnya yang lebih dikenal dengan sebutan Uni Sovyet dengan faham komunisnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman dimana faham komunis tidak bisa lagi diterima oleh masyarakat maka tumbanglah kekuatan raksasa Uni Sovyet dan menjadilah negara – negara persekutuan tersebut menjadi negara – negara yang merdeka, yang memiliki kedaulatan penuh dan terlepas dari kontrol pusat Rezim Kremlin, Rusia. Dan siapa yang menyangka, bahwa dahulu pernah terlahir disana seorang manusia yang bakal menghebohkan dunia dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa. Nama Lengkap dan Tanggal Lahir : Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi , yang lebih dikenal dengan Imam Al Bukhori penulis kitab Shahih Al Bukhari. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal th 194 Hijriah setelah shalat Jum’at di daerah Bukhoro. Oleh sebab itulah beliau dinisbahkan dengan Al Bukhari karena asal tanah kelahiran beliau adalah dari daerah Bukhoro. Kakek beliau yang bernama Bardizbah adalah berasal dari suku Persia yang menganut agama Majusi ( Penyembah Api ). Kemudian anak Bardizbah yang bernama Al Mughiroh masuk Islam, yang mengislamkannya adalah seorang yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Oleh karena itulah beliau juga dinisbahkan dengan Al Ju’fi. Bapak beliau yaitu Ismail meninggal, dalam keadaan beliau masih kecil. Dan beliau juga mengalami kebutaan semasa kecilnya. Namun ibunya terus menerus berdoa kepada Allah Ta’ala mengharapkan kesembuhan terhadap musibah kebutaan yang menimpa putra tercintanya. Dan Allah Ta’ala pun mengabulkan permintaan dari sang hamba yang shalehah dengan memberikan kesembuhan kepada sang putra tercinta. Maka sejak saat itu sang putra tercinta dapat menikmati indahnya karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana manusia yang lain. Perjalanan Menuntut Ilmu : Beliau mulai menghafal hadits pada usia sekitar 10 tahun dan ketika itu beliau belajar di sebuah Madrasah. Ketika usia beliau menginjak 16 tahun, beliau telah menghafal kitab – kitab karya 2 orang tokoh Tabi’ut Tabi’in yaitu Abdullah ibnul Mubarak dan Waki’ ibnul Jarrah. Pada usia tersebut pula tepatnya pada tahun 120 H, beliau bersama ibu dan saudara laki – lakinya yang bernama Ahmad pergi menunaikan Haji ke Baitullah Al Haram di Mekkah. Dan setelah selesai menunaikan haji, beliau tetap tinggal di Mekkah dalam rangka menuntut ilmu. Sementara saudara laki – lakinya yang bernama Ahmad, kembali ke tempat asalnya di Bukhara. Ketika usia beliau mencapai 18 tahun, beliau menulis kitab ” Qodhoya Shohabah wa Tabi’in ” dan kitab ” At Tarikh “. Beliau telah menuntut ilmu kepada 1080 masyaikh ( guru ) Ahlus Sunnah. Beliau telah melakukan rihlah ( perjalanan menuntut ilmu ) ke berbagai negeri seperti Balkh, Maru, Naisabur, Ray ( sekarang Teheran – Iran ), Baghdad, Basrah, Kufah, Makkah, Mesir, Syam, Hijaz dll. Guru – guru ( Masyaikh ) beliau : Telah disebutkan diatas bahwa beliau memiliki 1080 masyaikh ( guru ). Diantaranya adalah : 1. Di Negeri Balkh belajar kepada : – Maky bin Ibrahim 2. Di Negeri Maru belajar kepada : A. Abdan bin Musa B. Ali bin Hasan bin Syaqiq C. Shadaqoh bin Al Fadhal 3. Di Negeri Naisabur belajar kepada : – Yahya bin Yahya 4. Di Negeri Ray ( Teheran – Iran ) belajar kepada : – Ibrahim bin Musa 5. Di Negeri Baghdad belajar kepada : A. Muhammad bin Isa Ath Thaba’ B. Suraij bin An Nu’man C. Muhammad bin Sabiq D. ‘Affan 6. Di Negeri Basrah belajar kepada : A. Abu Ashim An Nabil B. Al Anshory C. Abdurrahman bin Hammad D. Muhammad bin ‘Ar’ur E. Hajjaj bin Minhal F. Badl bin Al Mihbar G. Abdullah bin Raja’ 7. Di Negeri Kufah belajar kepada : A. Ubaidullah bin Musa B. Abu Nu’aim C. Khalid bin Al Makhlad D. Thalq bin Ghanam E. Kholid bin Yazid Al Muqri 8. Di Negeri Mekkah belajar kepada : A. Abu Abdurrahman Al Muqri B. Khalad bin Yahya C. Hisan bin Hisan Al Bashri D. Abul Walid Ahmad bin Muhammad Al Azraqi E. Al Humaidy 9. Di Negeri Madinah belajar kepada : A. Abdul ‘Aziz Al ‘Uwaisy B. Ayyub bin Sulaiman bin Bilal C. Ismail bin Abi Uwais 10. Di Negeri Mesir belajar kepada : A. Sa’id bin Abi Maryam B. Ahmad bin Iskab C. Abdullah bin Yusuf D. Asbagh bin Al Faraj 11. Di Negeri Syam belajar kepada : A. Abul Yaman Al Hakam bin Nafi’ B. Adam bin Abi Iyas C. Ali bin ‘Ayyas D. Bisyr bin Syu’aib Dan juga para tokoh – tokoh ulama besar yang lain semisal Ishaq bin Rahuyah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al Madini, Nu’aim bin Hammad, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli dll. Murid – Murid Beliau : 1. Imam Muslim bin Al Hajjaj 2. Imam At Tirmidzi 3. Imam Ibnu Khuzaimah 4. Abu Hatim dll. Akhlak dan Ibadah beliau : Beliau pernah mengatakan :Aku berharap untuk bisa bertemu Allah. Dan aku berharap ketika nanti berada di Hari Perhitungan amalan, aku dalam keadaan tidak berbuat Ghibah ( suatu perbuatan yang menyebutkan saudaranya sesama muslim dengan apa – apa yang tidak disukainya jikalau ia mendengarnya ) kepada seorang pun. Hal ini menunjukkan akan takutnya beliau terhadap perbuatan Ghibah. Al kisah suatu hari beliau sedang melaksanakan shalat. Tiba – tiba datang seekor kumbang besar datang menyengat beliau yang sedang shalat sebanyak 17 kali sengatan. Maka tatkala selesai dari menunaikan shalatnya, dia bertanya kepada orang – orang yang ada di sekitarnya : ” tolong lihatlah ! apa yang telah membuatku sakit ini “. Maka merekapun mendapati seekor kumbang besar telah menyengat beliau sebanyak 17 sengatan dalam keadaan beliau tidak membatalkan shalatnya. Beliau berkata : Tidaklah aku letakkan sebuah hadits di kitab shahihku ini kecuali aku mandi terlebih dahulu dan shalat 2 rakaat. Wafat Beliau : Beliau mengalami fitnah yang sangat dahsyat yang dihembuskan oleh orang – orang yang merasa iri terhadap keutamaan dari Allah yang diberikan kepada beliau. Dan tidaklah beliau menginjakkan kaki ke suatu negeri kecuali penduduk negeri tersebut mengusirnya sebagai akibat dari hembusan angin fitnah yang disebarkan oleh orang – orang yang iri. Karena beliau mengalami pengusiran beberapa kali, maka beliau memilih untuk kembali ke daerah Khartanka yaitu sebuah wilayah bagian dari negeri Samarkand (sekarang menjadi ibukota negara Uzbekistan di Asia Tengah ). Beliau pergi ke daerah tersebut karena banyak dari karib kerabatnya yang tinggal di daerah tersebut. Beliau merasakan bahwa hidup ini terasa berat sekali, dan bumi yang luas terasa sempit bagi beliau. Hingga pada suatu malam tatkala beliau selesai menunaikan shalat malam ( Tahajud ), beliau berdoa kepada Allah agar diberikan jalan yang terbaik baginya. Kemudian beberapa hari setelah itu beliau mengalami sakit yang cukup keras. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui betapa berat penderitaan yang dialami oleh salah seorang hamba-Nya yang sholeh ini, maka sebagai bentuk Maha Belas Kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya tersebut, beliau dipanggil oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang pada hari Sabtu malam ‘Idul Fitri, pada tahun 256 Hijriah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau

Minggu, 17 Oktober 2010

Dalil dan Keutamaan Memperingati Maulid Nabi

Salah satu tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat NU adalah memperingati maulid Nabi dengan membaca kitab yang berisi biografi baginda Nabi dan pujian-pujian kepada beliau seperti albarzanji, simthud duror, diba’,dll. Dan ketika sampai pada penyebutan kelahiran baginda Nabi dilakukan srakal/berdiri  sebagai rasa ta'dzim dan hormat kita pada beliau disertai pembacaan sholawat.
Ada sebagian golongan yang menganggap hal tersebut sebagai bid’ah yang dilarang oleh agama. Anggapan seperti itu merupakan salah satu kebodohan yang tidak mempunyai dasar yang kuat.
Tradisi peringatan maulid seperti diatas memang merupakan bid’ah karena baginda Nabi dan para shahabat tidak pernah melakukannya tapi termasuk bid’ah hasanah, sebab hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mengagungkan beliau dan sebagai wujud kesenangan kita atas kelahiran beliu. Apalagi didalamnya juga ada pembacaan sholawat kepada beliau yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah.

Imam ibnu hajar al asqolani mengambil istinbat dasar peringatan maulid dari hadits: yaitu ketika nabi ke madinah beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyuro’, kemudian baginda Nabi bertanya: kenapa pada hari ini kalian berpuasa? Mereka menjawab: pada hari asyura’ fir’aun ditenggelamkan dan nabi Musa diselamatkan, oleh karena itu kami puasa sebagai rasa syukur kami.lalu baginda Nabi bersabda: kami lebih berhak atas Musa. Lalu rasul menganjurkan kepada kita untuk puasa pada hari asyuro’ dan satu hari sebelum atau sesudahnya agar tidak menyamai orang yahudi.
Dan dari cerita sayyidina al abbas bahwa beliau bermimpi melihat paman Nabi yang bernama abu lahab dineraka setiap hari senin  diringankan azabnya, ia bisa minum air dari ibu jarinya sebab ia merasa senang dengan kelahiran baginda Nabi sehingga ia    memerdekakan budaknya yang bernama tsuaibah yang telah memberi kabar kelahiran baginda Nabi .
Yang mengadakan peringatan Maulid Nabi secara meriah pertama kali adalah raja Al Mudzhofar. Diceritakan bahwa untuk mengadakan peringatan tersebut disembelih lima ribu ekor kambing, sepuluh ribu ekor ayam, dan menghabiskan 300 ribu dinar. Dan beliau memberikan hadiah sebanyak 1000 dinar kepada ibnu dihyah yang telah mengarang sebuah kitab maulid yang diberi judul  التنوير في مولد البشير النذير .
Pada zaman  khalifah Harun Ar Rasyid ada seorang pemuda yang tinggal di kota Bashroh, para penduduk tidak suka dengan dia karena kelakuanya yang jelek. Tapi setiap datang bulan robi’ul awwal ia mencuci pakaiannya, berhias dan mengadakan walimah untuk pembacaan maulid Nabi. Ketika ia meninggal ada suara tanpa rupa yang mengatakan: hai penduduk bashroh hadirilah dan saksikanlah jenazah waliyullah

Sabtu, 02 Oktober 2010

MATA LALAT


Sebuah perangkat optik murah yang terilhami rancangan pada mata lalat membuka pintu bagi pengembangan peralatan-peralatan pencitraan baru di dunia kedokteran (medical imaging device).
Manfaat dari penggunaan perangkat pencitraan magnetis dalam pemeriksaan dan pengobatan di dunia kedokteran tidaklah diragukan. Para ilmuwan Israel kini tengah mengembangkan perangkat baru di bidang ini. Mereka berharap bahwa alat ini, yang masih dalam tahap pengembangan, akan memberikan lebih banyak keuntungan daripada yang ada sekarang. Keuntungan ini adalah biaya yang lebih murah daripada teknologi pencitraan yang digunakan pada perangkat-perangkat yang sudah ada. Oleh karenanya, jika rencana ini telah menjadi kenyataan, masyarakat akan mendapat kesempatan untuk diperiksa kesehatannya menggunakan alat pencitraan [scan] ini dengan lebih sering. Mahalnya perangkat pencitraan resonansi magnetis [Magnetic Resonance Imaging - MRI] atau pemeriksaan dini kanker dengan menggunakan sinar-X yang bisa membahayakan, dijelaskan sebagai berikut:
Agar cahaya dapat dimanfaatkan dalam pencitraan di bidang kedokteran, foton (partikel cahaya) berjumlah sedikit yang dipancarkan obyek [bagian tubuh] yang sedang dicitrakan haruslah dapat dikenali. Hal ini merupakan sebuah kendala yang dimiliki alat-alat yang sudah ada. Jaringan tubuh yang menutupi obyek yang sedang dicitrakan menyebabkan terbentuknya pengotor pada gambar dengan mengaburkan cahaya. Dalam cara-cara yang diterapkan sekarang, permasalahan ini diatasi dengan menggunakan kamera-kamera mahal yang dilengkapi shutter [katup] khusus yang menyaring "pengotor" yang disebabkan oleh cahaya yang dihamburkan oleh jaringan tubuh tersebut. Hal ini memperbesar biaya.
Peneliti Joseph Rosen dan David Abookasis dari Universitas Ben-Gurion di Israel kini telah menemukan sebuah cara baru. Para ilmuwan mengumpulkan sejumlah gambar dari obyek yang sedang dicitrakan dan menggabungkan gambar-gambar ini sedemikian rupa untuk menghasilkan satu gambar bagus dari obyek tersebut. Jadi, mereka mendapatkan sebuah gambar hasil rata-rata dari gambar-gambar tersebut, dan cahaya yang dihamburkan oleh jaringan tubuh, yakni "pengotor" pada gambar, dapat dihilangkan. Penggabungan ini merupakan sebuah pemecahan masalah nyata terhadap permasalahan-permasalahan yang ditemukan pada peralatan-peralatan yang sudah ada. Akan tetapi, rancangan yang menjadi ilham dari pemecahan masalah melalui cara penggabungan [gambar] ini bukanlah alat buatan manusia. Dalam mencari pemecahan masalah ini, para ilmuwan tersebut terilhami oleh "mata majemuk" yang digunakan oleh lalat selama ratusan juta tahun. Bahkan, judul yang mereka berikan pada penelitian mereka adalah  "Seeing through biological tissues using the fly eye principle" [Melihat Dengan Menembus Jaringan Hidup Berdasarkan Prinsip Mata Lalat].(1)
Mengambil rancangan pada mata lalat sebagai titik awal mereka, para ilmuwan ini mempersiapkan serangkaian mikrolensa yang terdiri dari 132 buah lensa berukuran amat kecil. Untuk menguji gagasan mereka, para peneliti tersebut mengambil dua potong [daging] dada ayam dan menyelipkan sepotong tulang sayap di antara keduanya. Mereka lalu menyoroti salah satu sisi dari daging itu dengan laser berkekuatan cahaya lemah dan meletakkan serangkaian mikrolensa pada sisi yang lainnya. Gambar-gambar yang ditangkap mikrolensa diteruskan ke kamera digital dengan lensa biasa. Komputer lalu menghilangkan sebagian besar dari pengotor yang dihasilkan oleh cahaya yang terhamburkan, sehingga menghasilkan sebuah gambar yang lebih jelas dari tulang sayap yang tertutupi [dada ayam].
"Mikrolensa yang lebih banyak dan penyempurnaan-penyempurnaan lain seharusnya dapat meningkatkan ketajaman gambar,' kata Rosen. 'Dengan pendanaan untuk mengembangkannya lebih lanjut, perangkat kami mungkin dalam waktu setahun dapat melihat tulang-tulang di dalam telapak tangan, atau akar sepotong gigi.' "
Rosen menyatakan bahwa peralatan ini, yang bekerja berdasarkan prinsip mata lalat, begitu menjanjikan, dan memunculkan kabar gembira bahwa dengan penggunaan alat ini, endoskop yang tidak nyaman atau "kamera pil" yang harus ditelan dalam pencitraan perut (abdomen scans) akan menjadi peninggalan masa lalu.
Rancangan Mata Lalat
Seekor lalat yang bergerak melintasi udara sungguh luar biasa lincah. Lalat dapat mengubah arah terbangnya dalam sekejap ketika mengetahui adanya gerakan sangat lemah yang diarahkan kepadanya. Lalat dapat memilih untuk mendarat pada lantai, dinding atau langit-langit sebuah ruangan. Kenyataan bahwa lalat memiliki sebuah perangkat penglihatan amat hebat sangatlah penting dalam hal ini. Penelitian lebih dekat pada lalat dengan segera memunculkan penjelasan tentang sebab ketangkasan [terbang] ini. Mata lalat memiliki rancangan yang dikenal sebagai "mata majemuk" dan yang memungkinkannya melihat melalui lensa [mata] yang berjumlah banyak dan pada sudut pandang yang lebar.

Penampakan mata lalat di bawah elektron mikroskop.
Sebuah mata majemuk lalat tersusun atas satuan optik berjumlah sangat banyak, masing-masing dengan lensa optiknya sendiri, dan menghasilkan sejumlah besar gambar. Rangkaian saraf dari setiap satuan optik mengambil hasil rata-rata dari gambar yang ada, sehingga dihasilkanlah sebuah bayangan gambar yang lebih jelas daripada latar belakang yang dipenuhi pengotor. Mata lalat dapat mengindra getaran cahaya 330 kali per detik. Ditinjau dari sisi ini, mata lalat enam kali lebih peka daripada mata manusia. Pada saat yang sama, mata lalat juga dapat mengindra frekuensi-frekuensi ultraviolet pada spektrum cahaya yang tidak terlihat oleh kita. Perangkat ini memudahkan lalat untuk menghidar dari musuhnya, terutama di lingkungan gelap.
Mata majemuk lalat merupakan alat tubuh terpenting yang memainkan peran dalam sistem penglihatan, sebuah fungsi teramat penting dalam kelangsungan hidup binatang tersebut. Ketika alat tubuh ini diteliti, akan kita saksikan lensa-lensa, yang secara khusus menghamburkan cahaya, membentuk permukaan cekung yang memberikan ruang penglihatan yang luas dan memusatkan bayangan [gambar yang terbentuk] pada satu titik pusat. Sisi-sisi satuan optik [optical unit] pada permukaan tersebut berbentuk segienam (heksagonal). Berkat bentuk segienam ini, satuan-satuan optik itu satu sama lain terpasang rapat. Dengan cara ini, celah-celah kosong yang tidak diinginkan -- yang muncul jika bentuk geometris lain digunakan -- tidaklah terbentuk; dengan demikian penggunaan paling menguntungkan dari luasan yang ada telah diterapkan. Meskipun berkas-berkas cahaya yang berasal dari sejumlah besar lensa diperkirakan akan menghasilkan sebuah bayangan gambar yang kacau, ini tidak pernah terjadi, dan lalat dapat melihat sebuah ruang penglihatan yang luas dalam satu bayangan gambar.
Terdapat rancangan unggul pada mata lalat. Prinsip teknik ini, yang telah digunakan oleh manusia sejak beberapa ratus tahun lalu, telah ada pada lalat selama sekitar 390 juta tahun. Pengkajian yang lebih umum pada sejarah alam kehidupan menunjukkan bahwa rancangan mata majemuk (pada trilobita zaman Kambrium) berasal sejak kurang lebih 530 juta tahun yang lalu.
Lalat telah memiliki struktur mata ini sejak saat binatang ini muncul menjadi ada.
SIAPAKAH PEMILIK RANCANGAN PADA MATA LALAT?
Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut: para ilmuwan meniru rancangan pada mata lalat dalam mengembangkan peralatan mereka. Kenyataan bahwa mata lalat digunakan sebagai sumber ilham dalam teknologi modern merupakan pertanda jelas akan rancangannya yang unggul. Beragam bagian penyusun mata tersebut dapat dipahami sebagai sesuatu yang telah dirancang untuk satu tujuan tertentu. Lalu bagaimanakah lalat mendapatkan rancangan ini? Siapakah yang menyusun seluruh unsur-unsur pembentuk tersebut sedemikian rupa dan membentuk mata lalat?
Seluruh penataan pada mata lalat memperlihatkan bahwa rancangan ini diberikan pada serangga tersebut oleh Dzat yang memiliki kecerdasan tanpa tanding. Tidak ada keraguan, Allah Yang Mahakuasa-lah, Penguasa seluruh alam, Yang menciptakan lalat beserta sistem penglihatan sempurna ini. Penciptaan luar biasa pada lalat merupakan sebuah isyarat kekuasaan Allah yang tanpa batas.
Dalam sebuah ayat al Qur'an Allah mewahyukan:
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al Hajj, 22:73)